Pages

Kamis, 19 Februari 2015

0 Seni dalam Matematika

Oleh : Mokhammad Ridwan Yudhanegara, M.Pd.

Beberapa bulan yang lalu, pada salah satu jejaring sosial dihebohkan dengan permasalahan butir soal tentang perkalian di sekolah dasar, lebih khususnya terkait dengan sifat komutatif matematika. Kita jumpai soal perkalian 6 x 4, pada kasus tersebut 6 x 4 = 6 + 6 + 6 + 6 = 24. Itu merupakan jawaban siswa disalahkan oleh gurunya, karena sepengetahuan gurunya seharusnya 6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Jika kita cermati secara matematis, 6 x 4 = 4 x 6 = 24 yang selanjutnya disebut sifat komutatif perkalian. Nah berdasarkan sifat komutatif tersebut maka jawaban seorang siswa sekolah dasar tentang 6 x 4 = 6 + 6 + 6 + 6 = 24 adalah benar. Untuk 6 x 4 = 6 + 6 + 6 + 6 = 24  atau 6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24 adalah sebuah seni dalam matematika, dapat disimpulkan bahwa keduanya benar. Di Jepang malah menggunakan cara sama percis apa yang dikerjakan oleh siswa sekolah dasar tersebut, yaitu 6 x 4 = 6 + 6 + 6 + 6 = 24 sedangkan di Indonesia umumnya memakai 6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Malah di Amerika terdapat buku yang mengatakan bahwa perkalian itu sendiri bukan penjumlahan berulang, wah... lebih panjang lagi kalau dibahas. Disitulah contoh letak seni dalam matematika.
Matematika tidak hanya bergelut di dalam logika dan rumus, matematika telah digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan keindahan melalui pola, simetri dan struktur. Sepanjang sejarah matematika dan seni selalu berjalan beriringan, dan dengan matematika seniman dapat menghasilkan karya seni dari sudut pandang yang berbeda.
Seni dilahirkan berdasarkan kebutuhan manusia untuk mengekspresikan apa yang terjadi pada dirinya sendiri dalam mejalani kehidupannya. Seni mengkombinasikan suatu fungsi dan estetik ke dalam objek yang digunakan oleh manusia. Bentuk hasil karya seni diantaranya tulisan, lukisan, hasil pahatan dan kombinasi dari ketiganya sehingga menghasilkan karya yang sangat bervariasi. Perlu digaris bawahi bahwa seni yang dimaksud pada bahasan ini adalah seni visual, artinya yang dapat dilihat. Untuk yang sifatnya audio ataupun audio visual tidak dibahas.
Tatkala seorang pelukis menggambar sebuah box atau kotak, secara tidak disadari bahwa dia telah menggunakan konsep matematika yaitu konsep geometri sehingga terbentuk sebuah balok atau kubus. Seniman tersebut harus menuangkan benda tiga dimensi ke dalam kertas dua dimensi. Sedangkan seorang matematika dapat menganalisis sebuah karya seni berdasarkan ide-ide matematis. Seorang matematikawan dapat menyatakan bahwa sebuah motif karpet, sarung, ataupun kain batik merupakan suatu simetri dan memiliki sifat-sifat geometris tertentu karena didalamnya terkandung proses transformasi seperti pencerminan (refleksi), pergeseran (translasi), rotasi (perputaran), atau dilatasi (perkalian). Tetapi tentu saja si pembuat karpet, sarung, ataupun kain batik tidak menggunakan ide-ide tersebut dalam penciptaanya.
Matematika telah digunakan dalam berbagai kebudayaan dan membantu dalam penciptaan seni terbesar. Pada zaman dahulu dan sekarang matematika (khususnya geometri) digunakan dalam menciptakan pahatan dan lukisan yang bentuknya berpola ataupun simetris, bentuk-bentuk geometris digunakan dalam dekorasi bangunan yang megah supaya terlihat lebih indah. Malah sekarang terdapat penemuan yang lebih canggih lagi, bahwa seorang arkeolog dan antropolog dapat mengetahui umur suatu artefak melalui bentuk simetris dari benda yang ditemukan.
Dikutip dari berbagai sumber.

Senin, 15 September 2014

0 Permainan Tradisional Sunda “Go To United Kingdom-Wales”

Oleh : Mokhammad Ridwan Yudhanegara, M.Pd.

International-Inspiration

Salah satu program International-Inspiration yang diselenggarakan dan disponsori oleh British-Council yaitu program kemitraan antar sekolah yang ada di Indonesia dan skolah yang ada di United Kingdom. Harapan dari program tersebut adalah terjadinya hubungan erat antar sekolah untuk mengembangkan kegiatan olahraga, kepemimpinan siswa, dan permainan tradisional siswa lintas negara. Kegiatan tersebut menumbuhkan ide–ide baru bagi warga sekolah terutama guru sebagai kunci dari keberhasilan dalam program yang dijalankan.
Melalui program International-Inspiration yang diselenggarakan dan disponsori oleh British-Council, permainan tradisional sunda diantaranya “Galah Santang, Boy Boyan, dan Bebentengan” berhasil dinikmati siswa sekolah dasar dan sekolah menengah di kota Swansea-Wales. Gors Community Primary  School dan Dylan Thomas Community Secondary School adalah sekolah yang telah menerima peltihan langsung permainan tradisional sunda dari guru SD Negeri Kamarung I. Gors  Community Primary School dan Dylan Thomas Community Secondary School adalah sekolah yang berada di United Kingdom tepatnya di kota Swansea di negara Wales. Adapun SD Negeri kamarung I adalah sekolah yang berada di kabupaten Subang. Sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang kemitraan yang dijalankan menghasilkan nama baik bagi kedua negara.
“Welsh Folk Dance” adalah salah satu tarian tradisional penduduk negara Wales yang telah diajarkan ke  guru dan siswa SD Negeri Kamarung I melalui kujungan langsung guru dari sekolah mitra UK ke Indonesia pada tahun 2011. Tarian ini menjadikan semangat para guru dan siswa untuk dipelajari dan dikembangkan di sekolah. Tidak kalah kreatifnya juga, melalui kunjungan langsung ke Wales pada Maret 2013 lalu saya (Selaku guru dari Indonesia) juga membawa permainan tradisional Galah Santang, Boy Boyan, dan Bebentengan untuk diajarkan dan dikembangkan di sekolah mitra di Wales.
Antusias dan respon guru beserta siswa sekolah mitra di Wales untuk mempelajari permainan tradisional sunda tersebut sangat tinggi, sampai pada akhirnya mereka mengeluarkan pernyataan akan menjadikan Galah Santang, Boy Boyan, dan Bebentengan sebagai kegiatan ekstrakurikuler olahraga sekolah pada awal tahun ajaran baru. Ini merupakan tolok ukur keberhasilan Indonesia di bidang pendidikan sekaligus nilai positif yang sangat baik bagi Indonesia.
Sported by:
YST_stacked_rgb

BC

Sabtu, 30 Agustus 2014

0 Dari Sempoa ke Mental Aritmetika



1.        Sejarah Perkembangan Sempoa
Sempoa adalah alat hitung tradisional yang berasal dari Asia Timur, seperti Cina, Korea, Taiwan dan Jepang. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sempoa sendiri lahir dari negara arab yang kemudian menyebar ke daratan China yang dibawa oleh para pedagang gujarat sekaligus menyampaikan misi keagamaan (islam). Sempoa itu sendiri awal mulanya adalah sebuah tasbih yang terdiri dari 99 buah manik-manik dan seutas tali yang membentuk lingkaran. Alat ini digunakan sebagai alat untuk berdzikir bagi umat muslim.
Seiring perkembangan zaman, sempoa digunakan sebagai alat hitung tradisional di beberapa negara di Asia Timur. Ditetemukan kurang lebih 1800 tahun yang lalu dan mempunyai inti kerja menaikturunkan biji sempoa dengan tangan secara nyata. Sempoa memiliki beberapa nama khas tersidiri seperti cipoah, abakus, suzhuan atau soroban dan sim suan sesuai dengan negara yang menggunakan alat tersebut. Walapun sempoa berkembang di Asia Timur, namun menurut salah satu sumber, abakus paling tua di dunia ditemukan di Mesopotamia Kepulauan Salamis dan Hiroglif Fir’aun di Mesir. Saat itu, manusia menciptakannya dari gumpalan-gumpalan tanah. Gumpalan-gumpalan inilah yang dinamakan abax (bahasa Yunani) yang kemudian terkenal dengan istilah abacus. Sedangkan dalam perhitungan orang arab atau dunia islam, sejak abad ke-7, mereka menggunakan alat hitung butiran dari batu atau biji kurma.
Bentuk sempoa bermacam-macam, ada sempoa dengan bentuk 2-5 (2 biji sempoa atas dan 5 biji sempoa bawah) sempoa ini dikenal dengan sempoa china, sempoa ini populer dikalangan pedanga tionghoa karena kecepatannya dalam penggunaan transaksi penjualan. Ada lagi sempoa yang lebih sedikit bijinya yaitu sempoa 1-4 (1 biji di atas dan 4 biji di bawah), sempoa ini mulai dipakai dan dimasyarakatkan di Jepang, sehingga sempoa 1-4 dikenal dengan sempoa jepang atau dikenal dengan nama Soroban (bahasa Jepang).
Pada abad ke-20 terjadi penemuan revolusioner seiring dengan penelitian tentang perkembangan otak manusia, yaitu berhitung dengan menggunakan sempoa yang tadinya terikat dengan alat sempoa, terenyata bisa dipindahkan dalam bayangan otak manusia, sehingga proses berhitung lebih cepat lagi dan membantu perkembangan otak. Pendidikan tersebut dikenal dengan Mental Aritmetika. Dalam proses belajarnya, sempoa yang digunakan adalah sempoa sistem 1-4, karena lebih meudah dan memiliki alternatif bentuk dalam proses perhitungan hanya satu saja. Sehingga memudahkan dalam proses membayangkan (mental). Sedangkan pada bentuk sempoa 2-5 lebih sulit untuk dimentalkan karena memiliki banyak alternatif bentuk dalam proses perhitungannya.
Mental Aritmetika adalah berhitung diluar kepala atau mencongak, diambil dari bahasa Inggris Mental Arithmetic. Sedangkan arti bahasa mental aritmetika terdiri dari dua kata yaitu mental dan aritmetika. Aritmetika adalah bagian dari ilmu dasar matematika (sedangkan matematika terdiri dari Aljabar, geometri, aritmatika, trigonometri dll). Aritmetika merupakan dasar bagi manusia untuk berhitung dan berhitung itu merupakan dasar dari beberapa ilmu yang dipakai dalam setiap kehidupan manusia (orang butapun bisa berhitung). Berhitungnya menggunakan alat bantu sempoa. Mental adalah memindahkan sempoa pada bayangan otak sehingga bisa berhitung lebih cepat lagi. Jadi dalam mental aritmetika yang dipelajari hanya berhitung tambah kurang kali dan bagi, tidak ada aljabar, geometri atau bagian matematika yang lain.
Mental Aritmatika ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1996 dengan harga kursus yang cukup mahal sehingga hanya kalangan tertentu yang bisa mengikuti pendidikan ini. Kemudian seiring perkembangan zaman dan banyaknya orang yang menguasai sempoa, biaya kursus semakin murah.

2.             Proses Berhitung dengan Sempoa Secara Mental
Mental aritmetika dapat dipelajari serta diaplikasikan kepada semua usia. Tetapi usia ideal untuk menerapkan sistem belajar mental aritmetika adalah anak-anak berusia 5 sampai 12 Tahun, karena pada usia inilah perkembangan otak manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Disamping itu pada usia ini anak sudah mulai mengenal perhitungan sederhana. Sehingga pada saat belajar berhitung menggunakan sempoa anak sudah dapat mengaplikasikannya.
Pada tahap awal belajar berhitung (+), (-), (x), (J dengan metode manipulasi biji-biji sempoa (tanpa hapalan). Sampai bisa mengerjakan soal dengan jawaban akurat. Metode berhitung yang dipakai berbeda dengan metode berhitung yang saat ini dipakai. Kalau saat ini kita berhitung dengan menggunakan hafalan tetapi dengan logika sempoa. Jadi dalam mental aritmatika akan mengubah pola berhitung yang selama ini dipakai oleh anak. Selanjutnya perlahan-lahan peran sempoa tersebut dikurangi dan dipindahkan pada bayangan di otak sehingga pada saatnya siswa akan mampu mengerjakan perhitungan yang rumit hanya dengan mengimajinasikan pergerakan biji-biji dari sempoa yang ada pada ingatan anak saja


REFERENSI

Gullberg, J. (1997). Mathematics From the Birth of Numbers.  London: W.W.Norton & Company. ISBN : 0-393-04002-X.
Matlin, M. W. (2009). Cognitive Psychology Seventh Edition International Student Version. Printed In Asia: John Wiley & Sons, Inc.

Menninger, K. W. (1969). Number Words and Number Symbols: A Cultural History of Numbers. MIT Press. ISBN. 0-262-13040-8.
Moon, P. (1971).The Abacus: Its history; its design; its possibilities in the modern world. New York: Gordon and Breach Science
Pullan, J. M. (1968). The History of the Abacus. London: Books That Matter. ISBN 0-09-089410-3.
 



Minggu, 19 Mei 2013

0 PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERBUKA


Pembelajaran berbasis masalah terbuka adalah pembelajaran yang masalahnya memiliki alternatif ragam strategi penyelesaian namun tertuju dalam satu jawaban atau alternatif ragam strategi penyelesaian  dan ragam jawaban.
1.      Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Barrows dan Kelson (dalam Permana, 2004 : 18) ‘belajar berbasis masalah merupakan rencana pelajaran dan proses pembelajaran. Rencana pembelajaran terdiri dari pilihan dan bentuk masalah yang diperoleh dari pengetahuan siswa, kemampuan memecahkan masalah, strategi pembelajaran masing-masing siswa, kemampuan berkelompok’. Proses ini mencontoh sistem pendekatan yang biasa digunakan untuk memecahkan masalah atau menemui tantangan yang dihadapi dalam hidup karir. Menurut Permana (2004 : 18) “istilah pembelajaran berbasis masalah sebagai terjemahan dari istilah problem based instruction (PBI), merupakan suatu pembelajaran yang mempunyai perbedaan dengan pembelajaran pada umumnya di lapangan”.
Stephen   dan   Gallagher    (dalam Permana,   2004 : 18)    menyatakan      bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pengembangan kurikulum dan sistem pengantar yang memperkenalkan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah sebaik keharusan membantu siswa untuk memperoleh kebutuhan pengetahuan dan kemampuan. Menurut Permana (2004 : 19) pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa karakteristik yang diidentifikasi dan digunakan dalam beberapa pengembangan kurikulum, antara lain :
1)      Ketergantungan pada masalah untuk mengendalikan kurikulum.
2)      Masalah yang kurang terstruktur.
3)      Siswa memecahkan masalah.
4)      Siswa hanya diberi panduan tentang bagaimana mengenali masalah.
5)      Otentik, kinerja berbasis penilaian.

Menurut pendapat tersebut, jelas bahwa pembelajaran berbasis masalah ini sangat baik digunakan dalam kegiatan belajar mengajar siswa.
Permana (2004 : 11) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah menjadi titik tolak pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan matematik. Berbeda dengan pembelajaran pada  umumnya, biasanya masalah disajikan pada akhir pembelajaran setelah memahami konsep, prinsip dan keterampilan matematika.
Kemudian timbul suatu pertanyaan, masalah yang bagaimana yang disajikan dalam pembelajaran berbasis masalah? Masalah yang disajikan merupakan situasi  atau masalah kehidupan sehari-hari (kontekstual),  matematik, yang sebagian besar terdefinisi/tidak terstrukur dengan baik atau terdefinisi dengan baik semuanya.
Menurut Nurhadi (dalam Permana, 2004 : 11) pembelajaran berbasis masalah memiliki ciri-ciri, pengajuan masalah, terintegrasi dengan disiplin ilmu lain, penyelidikan otentik, menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. Adapun mengenai tujuan pembelajaran berbasis masalah, yaitu membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan pemecahan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui keterlibatan mereka dalam pengalaman nyata, menjadi pebelajar yang otonom. Jadi pembelajaran ini rancangannya sebagian besar untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, bukan dirancang khusus membantu guru.
Pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa kepada suatu situasi masalah. Setelah itu pembelajaran diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja. Seperti yang termuat dalam tabel berikut.



Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahapan
Tingkah Laku Guru
Tahap 1
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3
Membimbing penyelidikan individual dan kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya-karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
Tahap 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
      Sumber : (Permana, 2004 : 14).
Jika ditinjau ulang, hal yang paling utama dalam pembelajaran berbasis masalah ini adalah pemecahan masalah, pemecahan masalah terjemahan dari problem solving.
Berdasarkan teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne (dalam Suherman, dkk.., 2001 : 83) bahwa keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah. Hal ini dapat dipahami sebab pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari delapan tipe yang dikemukakan Gagne, yaitu : Signal learning, Stimulus-response learning, chaining, verbal association, discriminating learning, concept learning, rule learning, dan problem solving (Suherman, dkk., 2001: 83).
Fisher (1987:3) mengemukakan problem-solving skills are complementary to the traditional curriculum, they are the skills of succesful living. These skills include general thinking skills, both creative and critical, and spesific strategies such as observing, designing, decision making, team working, brainstorming, implementing an evaluating solutions and so on.
Jika diartikan pendapat Fisher tersebut yaitu keterampilan-keterampilan pemecahan masalah adalah pelengkap kurikulum (pembelajaran) tradisional, yaitu katerampilan-keterampilan kecakapan hidup. Keterampilan itu mencakup keterampilan berpikir umum (pemikiran umum), kedua-duanya kritis dan kreatif, dan strategi spesifik seperti pengamatan, membuat  rencana, mengambil keputusan, kerja kelompok (regu), pengungkapan pendapat,  menerapkan    pengevaluasi    solusi-solusi    dan   lain-lain.  Dalam pemecahan masalah ini banyak sekali keterampilan yang dilakukan.
Apabila  dikaji  secara  mendalam,  pembelajaran  berbasis  masalah  ini  berisi problem solving. Adapun tentang pemecahan masalah (problem solving) Ruseffendi (2006 : 241) berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah suatu pendekatan yang bersifat umum yang lebih menekankan kepada proses daripada hasilnya. Gagne (dalam Ruseffendi, 2006 : 169) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi karena kompleks daripada tipe belajar sebelumnya. Maksudnya adalah tipe belajar yang klasikal. Pengelompokkan tipe belajar yang dilakukan oleh Gagne adalah tipe belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, memperbedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan dan pemecahan masalah.
Ruseffendi (2006 : 169) berpendapat bahwa ada lima langkah yang harus dilakukan dalam proses pemecahan masalah, yaitu menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas, menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih operasional, menyusun hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik, menguji hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya, dan menguji kembali hasil yang telah diperoleh. Jadi penekanan pada pembelajaran dengan pemecahan masalah adalah pada apa yang harus dipecahkan dan bagaimana dapat memecahkan masalah tersebut secara sistematis dan logis.
Dalam pembelajaran berbasis masalah, siswa memahami konsep atau materi dimulai dari belajar dan bekerja pada situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik)   yang   disajikan  pada  awal   pembelajaran,  sehingga  siswa  diberi kebebasan  menggunakan  nalarnya  untuk  berpikir  dan   mangaitkan  topik-topik matematika dalam mencari solusi dari situasi masalah yang diberikan.
Kegiatan  lain  dalam  pembelajaran    berbasis  masalah  yaitu  melibatkan siswa dalam investigasi terhadap situasi masalah sehingga memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dari situasi masalah dan membangun pemahamannya tentang fenomena itu. Semua itu merupakan rasionalitas tentang bagaimana pembelajaran berbasis masalah membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar pentingnya orang dewasa.
2.            Pembelajaran Berbasis Masalah Terbuka
Pembelajaran berbasis masalah secara mendasar mengubah pandangan proses belajar mengajar dari guru mengajar ke siswa belajar. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk bekerja secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok (cooperative learning). Adapun menurut Herman (dalam Permana, 2004: 15) bahwa tipe masalah terbuka (open-ended) dianggap cocok dalam pembelajaran barbasis masalah karena dengan masalah terbuka diterapkan problem solving yang solusinya dengan berbagai cara untuk menyelesaikan dan berbagai variasi jawaban dan/atau memiliki banyak alternatif cara untuk menyelesaikan dan memiliki satu jawaban.


a)                        Pendekatan Terbuka (Opend-Ended)
Shimada (dalam Mina, 2006 : 18) menyatakan bahwa pendekatan open-ended adalah pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki lebih dari satu jawaban dan/atau metoda penyelesaian. Menurut Shimada pendekatan  ini memberi siswa kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman menemukan, mengenali dan memecahkan masalah dengan beberapa cara berbeda.
Adapun menurut Nohda (dalam Mina, 2006 : 18) menuturkan dengan jelas tujuan pembelajaran dengan open-ended ini adalah mendorong kegiatan kreatif dan pemikiran matematik siswa dalam memecahkan masalah matematika secara simultan. Dalam pelaksanaannya siswa diminta untuk memecahkan masalah dengan membiarkan siswa mengembangkan cara berpikirnya dan menggunakan strategi penyelidikan masalah yang meyakinkan baginya. Pendekatan ini memberi keleluasan kepada siswa untuk melakukan elaborasi lebih besar sehingga memungkinkan bertambahnya kemampuan berpikir matematiknya dan meningkatnya kegiatan kreatif untuk setiap siswa.
Jika dilihat dari uraian di atas pendekatan open-ended ini diartikan sebagai pendekatan yang dimulai dengan menyajikan soal tak lengkap, dan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan banyak pendekatan atau cara yang benar dalam memecahkan soal yang diberikan. Jika dilihat dari pendapat–pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa asumsi pendekatan open-ended ini adalah lebih mengutamakan proses daripada hasil. Siswa dituntut untuk mengembangkan masalah. Pendekatan ini memberi keleluasaan kepada siswa untuk mengemukakan jawaban secara aktif dan kreatif.
Hal seperti yang dikemukakan di atas menjadi keterbukaan dalam open-ended. Adapun menurut Suherman, dkk.(2001 : 114) bahwa kegiatan matematik dan  kegiatan  siswa  disebut  terbuka  jika  memenuhi ketiga aspek yaitu, kegiatan siswa  harus terbuka,  kegiatan matematik  adalah  ragam berpikir,  kegiatan siswa dan kegiatan matematik merupakan satu kesatuan.
Menurut  Shimada  (dalam Mina,  2006 : 19)  ‘soal - soal  open–ended    banyak dikembangkan di Jepang, soal-soal tersebut banyak dipakai dalam pembelajaran matematika dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas’. Soal open-ended didefinisikan sebagai soal yang memiliki beberapa jawaban benar atau memiliki beberapa cara untuk memecahkan masalah dengan benar .
Hancock (dalam Mina, 2006 : 19) mengatakan bahwa soal open-ended adalah soal yang memiliki lebih dari satu cara penyelesaian yang benar, atau/dan mempunyai lebih dari satu jawaban benar dan siswa dapat menjawabnya dengan cara sendiri tanpa harus mengikuti proses pengerjaaan yang sudah ada. Demikian juga menurut Berebson dan Garter (dalam Mina, 2006 : 19) mengidentifikasikan masalah open-ended sebagai tipe masalah yang mempunyai banyak penyelesaian dan banyak cara penyelesaian. Dari pendapat tersebut, yang menjadi ciri utama dari soal open-ended ialah tersedianya kemungkinan banyak jawaban serta keleluasaan bagi siswa untuk memakai sejumlah metoda yang dianggap paling sesuai dalam menyelesaikan soal itu.
Pendapat Mina (2006 : 20) bahwa jenis masalah yang digunakan dalam pembelajaran melalui pendekatan open-ended adalah masalah yang tidak rutin dan bersifat terbuka. Sedangkan dasar keterbukaan (openness) dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yakni : process is open, end products are open, dan ways to develop are open (Mina, 2006 : 20). Proses terbuka maksudnya adalah tipe soal yang diberikan mempunyai banyak cara penyelesaian yang benar; hasil akhir yang terbuka maksudnya adalah tipe soal yang diberikan mempunyai jawaban yang banyak (multiple); cara pengembangan lanjutannya terbuka adalah ketika siswa telah selesai menyelesaikan masalah awal mereka dapat menyelesaikan masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli). Dengan demikian pendekatan ini selain membuat siswa dapat menyelesaikan masalah tetapi juga dapat mengembangkan masalah baru.
Setelah ditinjau mengenai proses terbuka seperti yang telah dipaparkan di atas, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan  terbuka dapat bermacam-macam dan tidak terduga. Pertanyaaan terbuka menyebabkan yang ditanya untuk membuat hipotesis, perkiraan, mengemukakan pendapat, menilai, menunjukkan perasaannya dan menarik kesimpulan (Ruseffendi, 2006 : 256). Selain itu pertanyaan terbuka dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh wawasan baru dalam pengetahuan mereka sehingga tidak terjadi kemonotan dalam proses berpikirnya. Seperti yang dituturkan oleh  Nohda (dalam Mina, 2006 : 20) bahwa dengan adanya soal tipe terbuka, guru berpeluang untuk membantu siswa dalam memahami dan mengelaborasi ide-ide matematika siswa sejauh dan sedalam mungkin.         
b)      Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah terjemahan dari cooperative learning. Cooperative learning, garis besarnya merupakan kelompok siswa dalam kelas. Adapun menurut Suherman, dkk.(2001 : 218) “cooperative learning mencakupi suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya”.
Model  pembelajaran  kooperatif  ini banyak dikembangkan oleh para ahli, karena pembelajaran ini menarik dan mudah dibuat variatifnya. Menurut Slavin (2009:8) bahwa dalam pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk bersama dalamkelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Untuk kebutuhan tertentu mungkin anggota kelompok dalam model pembelajaran kooperatif bisa kurang atau lebih dari empat orang.
Menurut Slavin (2009:33) bahwa tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan para siswa pengetahuan, konsep, kemampuan, dan pemahaman yang mereka butuhkan supaya bisa menjadi anggota masyarakat yang bahagia dan memberikan kontribusi. Jika ditinjau meurut pendapat tersebut, jelas bahwa pembelajaran kooperatif sangat memiliki efek positif untuk siswa ketika mereka berada dalamkalangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Fisher, R. (1987). Problem Solving In Primary Schools. St Mary Cary, Kent: Multiplex Techniques.Ltd. (Printed in great Britain)
Mina, E. (2006). Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematika Siswa SMA Bandung. Tesis pada Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Permana, Y. (2004). Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematika Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis pada Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Konpetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: PT Tarsito.
Slavin, R.E. (2009). Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Suherman, E., dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI Bandung.
Yamin, M. (2011). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada (GP) Press.
 
back to top